Mendengarkan: Moonlight Sonata, Beethoven
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah. Keduanya terjadi begitu wajar sehingga hampir tak terasa seperti sebuah kejadian. Mungkin kita pernah mempertanyakan tentang pertemuan dan perpisahan, tapi pernahkan kita benar-benar mencoba menjawabnya tanpa mempersalahkan nasib? Seperti halnya kelahiran dan kematian, pertemuan dan perpisahan saling mengait begitu rapat dalam jalinan waktu yang berjalan begitu perlahan, seakan diam; membujuk kita untuk ikut bergerak dan berubah tanpa sadar, tanpa melawan. Kita menghadapinya dengan pasrah, dengan hati yang kalah. Kita tahu, tanpa keduanya takkan ada cerita, takkan ada sejarah.
Mengapa dua orang harus bertemu dan mengapa harus berpisah? Tidak ada yang bisa benar-benar tahu jawabannya sampai keduanya benar-benar bertemu dan benar-benar berpisah. Ini adalah pertaruhan yang adil antara kita dan waktu. Bagian untuk mengerti hanya akan terjadi setelah kita selesai menjalani.
Aku tak tahu banyak tentang rahasia kebijaksanaan waktu, tapi aku sadar bahwa dia melumatkan kita dengan tekun dan setia. Kita bertemu masa lalu untuk berpisah hari ini, dan berpisah hari ini untuk bertemu masa depan. Kita menjadi bagian dari siklus jagat raya yang diurai untuk dibentuk kembali. Seperti sebuah lingkaran, kita tak pernah bisa menandai secara pasti waktu atas keduanya. Kita hanya sadar bahwa kita berubah setelah keduanya selesai terjadi, tanpa bisa menjelaskan. Kita hanya manusia, kita mungkin mampu menerka pertanda dan meraba makna, tapi kita tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Karena kita selalu berubah, kita tidak pernah menjadi orang yang sama setiap hari.
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah; tak pernah ada yang sama. Seandainya saja keduanya dijadikan pertanyaan, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah bertemu begitu banyak orang, namun aku belum pernah merasa benar-benar berpisah dengan siapapun. Aku tak pernah yakin mampu untuk melepaskan apa yang pernah kumiliki. Karena melepas berarti melupakan, dan melupakan adalah penderitaan.
***
Aku menaikkan kerah jaketku, dinginnya malam menaikkan bulu kudukku. Tak ada yang mengejarku, namun aku berjalan cepat-cepat, seakan sedang berpacu dengan bayanganku pada trotoar. Aku memang selalu berjalan cepat-cepat, entah itu sedang terburu-buru, atau malah sedang santai. Teman seperjalananku selalu bilang aku ini berjalan seperti laki-laki; cepat, bersemangat, dan serampangan. Aku tidak pernah ambil pusing, karena sebenarnya ketika berjalan aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku hanya menikmati rasanya berjalan, selebihnya aku tidak begitu perduli, toh aku bisa menikmati yang lain-lain itu besok; mereka tidak pernah kemana-mana.
Berjalan kaki cepat-cepat, bagiku, hanyalah cara untuk bersembunyi ke dalam diriku tanpa harus terlihat aneh. Ketika berjalan cepat-cepat, orang-orang tidak akan berani menegur atau mencoba menghentikan langkahku untuk hal-hal remeh, simply karena mereka mengira bahwa aku punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Kalaupun ternyata mereka cukup bodoh dan tetap menegur, aku masih bisa berpura-pura tidak mendengar tanpa terlihat kasar atau kurang ajar. Dan begitulah, aku selalu mengasingkan diri dengan berjalan cepat-cepat. Aku merasa waktu seakan berhenti berputar ketika aku mulai berjalan, semua orang seperti menghilang dan aku menjadi satu-satunya suara yang bisa berbahasa. Aku merasakan duniaku berputar, dalam gerakanku sendiri, lepas dari gravitasi. Aku menjadi diriku sendiri dengan merdeka.
Malam ini, seperti biasa, aku berjalan kaki pulang melewati jalan di depan rumah itu. Rumah yang berpagar besi dan dicat hijau itu. Halamannya rimbun sekali, terlalu rimbun malah, sehingga membuatnya terlihat seperti hutan. Sebenarnya aku tidak pernah tertarik dengan wajahnya yang suram, tapi hari ini suara piano dari dalam rumah itu berhasil menghentikan langkahku, Dia seperti hantu yang merayap diantara desau dedaun dan merasuki telingaku. Aku tersedot keluar dari pusaranku, dan tertarik masuk kedalam medan gravitasinya. Aku mematung di depan gerbangnya, gerbang besi berwarna hijau dengan kolom yang dicat putih itu. Di salah satu kolomnya tertera angka 6 yang ditulis dengan cat hitam; serampangan, namun jelas, membuat rumah itu seperti berkata, “Hai, namaku rumah nomor 6.”
Betapa anehnya sebuah pertemuan. Dalam seketika dia membawaku jauh dari apa yang ku yakini selama ini, jauh dari cita-cita untuk pulang, jauh dari keinginan untuk segera sampai ditujuanku yang sebenarnya. Dari ribuan langkah bisu yang kuhitung dengan tekun, akhirnya aku berhenti pada sebuah pertemuan, sebuah awalan. Tak pernah direncanakan, dan tak terhindarkan. Di titik ini kita pernah berhenti dan bertemu, mungkin begitulah aku akan mengenangmu kelak.
Aku memperhatikan dua buah jendela besar yang ada dibagian depan rumah, hanya itulah bagian rumah yang tak tertutup rimbunnya tumbuh-tumbuhan di halaman depan. Gelap sekali, seperti halnya bagian lain dari rumah ini. Aku bersandar pada pagarnya dan menikmati lantunan Moonlight Sonata yang masih terus mengalun lirih. Lagu ini, hampir seperti tangisan walau tetap terdengar indah. Lamat-lamat aku merasakannya mengalir perlahan, masuk hingga jauh kedalam hatiku, begitu tenang, begitu sedih, namun begitu indah; hampir seperti fantasi.
Moonlight Sonata atau Piano Sonata no.14 digubah oleh Beethoven untuk Countess Giulietta Guicciardi, seorang murid sekaligus gadis yang dicintainya. Status sosial dan usia yang terpaut jauh membuat keduanya tidak mungkin untuk bersama. ‘Quasi Una Fantasia’ atau ‘Hampir Seperti Fantasi’, begitulah dia menamai simfoni tiga bagian ini. Beberapa menulis bahwa nama ini diambilnya menjadi judul karena simfoni ini merupakan free form symphony, berbeda dengan aturan baku sebuah simfoni masa itu. Namun mengingat simfoni ini didedikasikan untuk kekasihnya, maka banyak juga yang berpendapat bahwa judul tersebut juga mewakili perasaannya pada sang perempuan. Mungkin karena cintanya yang begitu besar, mungkin karena jauhnya jurang yang memisahkan mereka, atau mungkin karena kedua alasan tersebut, entahlah, tapi piano simfoni ini memang tak biasa. Seorang kritikus musik bahkan menyetarakannya dengan puisi yang tak teraih bahasa manusia.
Aku masih mematung di depan rumah nomor enam ini. Keinginan untuk masuk dan mendengar lebih dekat begitu besar, namun aku tak berani keluar dari daerah amanku. Lagipula ini sudah sangat larut, kurang ajar sekali kalau seorang gadis sepertiku sampai berani bertamu jam segini. Dari dalam aku mendengar simfoni memasuki bagian akhir Presto Agitato, seperti dua buah petir saling menyambar, simfoni ini menggemuruh hingga meruntuhkan tembok harga diriku. “Ah, if I perish, I perish,” doaku singkat.
Aku melihat sekitarku, tak satupun orang yang lewat. Jam segini, jalanan ini memang sudah sepi. Aku melihat sekitarku untuk yang kedua kali, mencoba meyakinkan diri bahwa tidak ada yang melihatku masuk. Dan detik berikutnya aku melakukan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Aku masuk kerumah itu.
Aku tak menemukan bel dan aku tak berani mengetuk, tapi aku melihat pagarnya tak berkunci, jadi aku langsung membukanya. Suara berdecit yang nyaring langsung menyeruak ketika aku menggeser daun pintunya. Aku mematung beberapa saat, terkejut dengan suara yang tak kuduga itu. “Dammit,” umpatku.
Suara piano tiba-tiba berhenti, mungkin sadar akan kehadiranku. Aku melihat lampu ruang depannya tiba-tiba menyala dan terdengar suara menghardik dari dalam, “Siapa disitu!” Secepat kilat aku meninggalkan rumah itu lalu bersembunyi dibalik kolom pagar tetangga sebelahnya. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu sang pemilik rumah datang dan memeriksa keluar.
Dan benar saja, bunyi besi berdecit kembali terdengar jelas ketika pemilik rumah nomor enam itu membuka pagarnya. Seorang pria berusia pertengahan 40an terlihat bingung ketika mendapati tidak ada seorangpun di depan pagarnya. “Siapa disitu,” hardiknya kembali. Gelap sekali malam itu, tapi sosoknya yang besar dengan rambut panjangnya yang berantakan begitu jelas tertangkap mataku. Ia menyapu sekitarnya suara nafasnya yang berat, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan suara yang tadi didengarnya.
“Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Kakiku mulai terasa nyeri akibat berjongkok dengan posisi lutut yang salah. Aku ingin meluruskan badanku, namun aku takut aku akan menimbulkan suara yang akan menuntunnya padaku. Dia kembali menghardik, “Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Malam menjadi terlalu hening bagiku. Bahkan bernafaspun aku tak berani, takut dia akan mendengarku. Aku merasa seperti ada ribuan semut yang menggerogoti kakiku, begitu geli dalam arti yang menyakitkan. Tapi aku tetap diam, mencoba menjadi sehening batu.
“Dasar orang gila,” umpatnya lalu masuk kembali, mengunci pagarnya, lalu mematikan lampu ruang depannya. Aku masih tak berani keluar, sebagian karena aku masih begitu kaget dan sebagian lagi karena aku terbawa suasana dan benar-benar menjadi sehening batu. Aku menunggu beberapa saat sampai ada tanda bahwa keadaan aman. Lalu aku keluar dari persembunyianku.
Darahku serasa berhenti sesaat akibat pertemuan yang ganjil itu. Entah apa yang kufikirkan sampai aku nekat melakukan kegilaan seperti ini. Aku menarik nafas panjang, dan udara panas yang kubuang menciptakan kepulan asap yang aneh dari lubang hidungku. Kakiku mati rasa akibat berjongkok terlalu lama, namun itu tak seberapa dibanding jantungku yang berdegup tak beraturan, menciptakan sakit kepala yang hebat. Ah, pertemuan memang aneh, untuk beberapa saat aku merasa menjadi orang yang berbeda, orang yang tak pernah kukenal selama ini. Sebuah pertemuan telah membawaku jauh dari apa yang kuyakini selama ini, jauh dari tujuan awalku untuk pulang, jauh dari diriku dan hidupku yang biasanya menjemukan.
God forbids, aku ingin bertemu dengannya lagi!
***
Aku mengusap mataku yang terasa perih. Semalaman aku tak bisa tidur. Pertemuan dengan pemilik rumah nomor enam itu membuatku merasakan sesuatu yang beda, sesuatu yang mencegahku tidur atau mengerjakan yang lainnnya. Alam bawah sadarku seakan tak rela membiarkanku melupakannya.
Aku melirik jam meja disebelah tempat tidurku, baru pukul setengah lima pagi. Terlalu pagi untuk bangun, namun terlalu terlambat untuk tidur. “Argh,” teriakku gusar, entah kepada siapa. Lalu aku bangkit untuk bersiap-siap.
Pukul enam limabelas, begitulah yang terbaca pada jam dindingku sesaat sebelum aku meninggalkan rumah. Pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Aku ingin melihat wajah sipemilik rumah nomor enam dengan lebih jelas. Aku berharap dia sudah bangun dan sedang beraktifitas di sekitar perkarangannya. Dari permainan pianonya semalam aku yakin kalau dia seorang musisi, atau mungkin seorang guru piano. Aku berharap dia bukan pekerja kantoran yang selalu sibuk dipagi hari. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi. Atau kalau ada kesempatan baik, aku ingin sekali berkenalan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Aku sengaja berjalan lebih pelan pagi ini. Dan begitu sampai di depan rumah nomor enam itu aku berhenti dan menunggu keberanian menghampiriku sekali lagi. Aku mematung cukup lama sampai tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari samping. Seorang bapak dengan anjing Spaniel coklatnya ternyata sudah dari tadi berdiri disampingku.
“Cari siapa, dik,” tanyanya.
“Oh, maaf pak, sebenarnya saya…. Uhm, anu, itu, maksud saya, saya juga bingung ngejelasinnya pak, hehe,” aku tertawa aneh untuk menutupi keterkejutanku.
“Adik saudaranya Pak Bejo, ya?”
“Pak Bejo? Maksudnya?”
“Iya, yang punya rumah ini.”
“Oh, bukan pak. Saya bukan siapa-siapanya beliau.”
“Ada perlu sama Pak Bejo mungkin?”
“Oh, engga pak, saya tadi anu, ini uang, eh, pin bross saya tadi jatuh dekat-dekat sini. Jadi saya cari-cariin. Udah masuk parit mungkin ya. Aduh, padahal saya sayang banget sama bross itu.” Aku menatap matanya mencoba meyakinkannya dengan penjelasan yang aneh tadi.
“Wah, sayang banget ya,” katanya penuh ketulusan. “Nanti kalau saya ketemu saya simpenin deh. Semoga ga bener-bener ilang ya,” lanjutnya.
“Wah, makasih ya pak. Saya permisi dulu,” pungkasku.
Aku berlalu dengan cepat dari hadapannya. Seketika itu juga aku merasakan kembali ketegangan yang sama, yang menyiksaku semalam. Sambil berjalan aku menoleh sekali kearah bapak dengan anjing Spaniel coklatnya tadi, mereka masih berdiri di sana, menatapku dengan penuh tanya. Aku berjalan lebih cepat, mengejar belokan yang tinggal beberapa meter di depanku. Aku tak tahan diperhatikan dari belakang seperti ini. Rasanya seperti ribuan belati menancap pada punggungku.
“Sial, kenapa begitu sulit sih bertemu dia lagi,” umpatku pelan.
Aku memacu langkahku menuju belokan yang tinggal lima meter lagi dihadapanku. Setelah belokan ini aku bisa menjadi diriku kembali, bukan orang aneh yang baru saja kulakoni beberapa menit dibelakang. Sebelum berbelok, aku menoleh kebelakang untuk terakhir kalinya. Si bapak dan anjingnya sudah tidak ada. Aku bernafas lega karena kini aku benar-benar bisa menjadi diriku kembali.
Ternyata namanya Bejo, aku membatin. “Tidak terlalu buruk,” gumamku pelan. Aku tersenyum, entah mengapa. Rasanya begitu aneh, seperti ada kupu-kupu di dalam perutku; senang namun juga gelisah. Ah, setidaknya kini aku selangkah lebih dekat dengan mengetahui namanya. Aku tersenyum kembali, merasa puas dengan apa yang berhasil kulakukan hari ini. Seorang nenek yang berpapasan denganku terlihat takut melihatku tersenyum sendiri. Ah, aku tak perduli. Aku tidak pernah ambil pusing dengan apa yang ada disekitarku ketika aku berjalan. Sebentar lagi mereka semua akan menghilang. Sebentar lagi hanya akan ada aku dan duniaku.
Kita selalu bertemu dengan tiba-tiba, begitu cepat sehingga kita tak bisa menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.
Pertemuan bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Dia tidak membiarkan kita memilih karena dia tahu, kita tidak akan mampu membuat pilihan untuk memulai. Kita hanya manusia yang tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Memulai mungkin terlalu berat sehingga bagian kita hanya menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Dan mungkin, begitulah cara Tuhan mengasihani kita.
***
“Air putih, khan,” katanya sambil tersenyum ketika aku mulai duduk di sofa hijau mbladus disudut ruang kerjanya. Sebenarnya ruang kerja disini bukan dalam artian yang sesungguhnya, hanya sebuah garasi tak terpakai yang disulap menjadi kamar dengan sebuah meja kerja, dua sofa butut, dan sebuah piano tua pada sudutnya. Tapi sepertinya untuk seorang tukang kebun, ruang kerja ini lebih dari cukup.
“Tau aja, pak,” kataku sambil menatap punggungnya.
“Mau nyari Pak Bejo lagi ya,” di sodorkannya aku segelas besar air putih dingin.
“Ada ngga, Pak?”
“Wah, baru setengah jam yang lalu dia berangkat. Katanya sih ada latihan untuk konser bulan depan.” Dia menyodorkan sebuah brosur tentang konser yang baru saja disebutkannya tadi. “Tertarik?” Ditatapnya aku tajam dari balik kacamatanya.
“Wah, kayanya sih menarik. Aduh, tapi mahal sekali tiketnya,” aku hampir tersedak ketika membaca harga tiket yang tertera di brosur itu.
“Ya, menabung aja dulu. Masih sebulan ini,” dia tersenyum melihat ekspresi kagetku.
“Ya, tetap saja masih terlalu mahal bagi saya, Pak. Emang bakal ada yang nonton gitu, khan mahal sekali ini.” Aku membolak-balik brosur kecil tadi, berharap menemukan tulisan yang mencantumkan harga tiket yang lebih terjangkau.
“Tak ada yang terlalu mahal untuk sebuah seni,” dia mengulum senyum penuh arti.
“Ah, ngomong sih enak, Pak. Nyari duitnya tetep aja setengah mampus,” aku menertawakan diriku sendiri. “Eh, si Arnaud kemana Pak?” Aku mencari-cari anjing Spaniel coklat yang biasa dibawa-bawanya itu.
“Sayang sekali ya, kamu udah beberapa kali kesini, tapi tak bisa bertemu Pak Bejo. Ngga jodoh kayaknya kamu sama dia.” Dia terkekeh pelan mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa menggubris pertanyaanku. “Kenapa sih kamu tertarik sekali bertemu dengan dia? Kamu kan ga kenal dia sebelumnya,” dia menyilangkan kakinya dan menyandarkan kedua tangannya pada bahu sofa tempat dia duduk.
“Udah ah Pak, cukup sekali saya nyeritainnya, saya malu kalo harus ngomong itu lagi. Saya merasa bodoh banget kalo inget kejadian malam itu,” aku ingin tertawa sebenarnya, tapi entah mengapa, menertawakan diri sendiri memang selalu menyakitkan.
“Ya engga apa-apa, cuma buat lucu-lucuan aja,” dia tertawa kecil melihat wajahku yang memerah tiba-tiba. “Tapi untung dia yang buka pintu, ya. Kalau saya, saya ga pake ribut-ribut langsung saya pukul pake pentungan.” Dia terbahak tertahan, mungkin sedang membayangkan bagaimana rupaku jika terkena pentungannya. “Oh iya, pin bross kamu itu ga ada lho. Padahal sudah saya cariin kemana-mana.” Dia terbahak lebih keras. Aku merasa bodoh sekali mengingat kejadian pagi itu, ketika aku harus berbohong waktu dia memergokiku mematung di depan rumah ini.
“Bapak udah berapa lama sih kerja sama Pak Bejo,” tanyaku untuk menyudahi ejekannya.
“Wah, sudah lama sekali. Dari Pak Bejo belum apa-apa, sampai dia seperti sekarang ini.”
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah. Keduanya terjadi begitu wajar sehingga hampir tak terasa seperti sebuah kejadian. Mungkin kita pernah mempertanyakan tentang pertemuan dan perpisahan, tapi pernahkan kita benar-benar mencoba menjawabnya tanpa mempersalahkan nasib? Seperti halnya kelahiran dan kematian, pertemuan dan perpisahan saling mengait begitu rapat dalam jalinan waktu yang berjalan begitu perlahan, seakan diam; membujuk kita untuk ikut bergerak dan berubah tanpa sadar, tanpa melawan. Kita menghadapinya dengan pasrah, dengan hati yang kalah. Kita tahu, tanpa keduanya takkan ada cerita, takkan ada sejarah.
Mengapa dua orang harus bertemu dan mengapa harus berpisah? Tidak ada yang bisa benar-benar tahu jawabannya sampai keduanya benar-benar bertemu dan benar-benar berpisah. Ini adalah pertaruhan yang adil antara kita dan waktu. Bagian untuk mengerti hanya akan terjadi setelah kita selesai menjalani.
Aku tak tahu banyak tentang rahasia kebijaksanaan waktu, tapi aku sadar bahwa dia melumatkan kita dengan tekun dan setia. Kita bertemu masa lalu untuk berpisah hari ini, dan berpisah hari ini untuk bertemu masa depan. Kita menjadi bagian dari siklus jagat raya yang diurai untuk dibentuk kembali. Seperti sebuah lingkaran, kita tak pernah bisa menandai secara pasti waktu atas keduanya. Kita hanya sadar bahwa kita berubah setelah keduanya selesai terjadi, tanpa bisa menjelaskan. Kita hanya manusia, kita mungkin mampu menerka pertanda dan meraba makna, tapi kita tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Karena kita selalu berubah, kita tidak pernah menjadi orang yang sama setiap hari.
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah; tak pernah ada yang sama. Seandainya saja keduanya dijadikan pertanyaan, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah bertemu begitu banyak orang, namun aku belum pernah merasa benar-benar berpisah dengan siapapun. Aku tak pernah yakin mampu untuk melepaskan apa yang pernah kumiliki. Karena melepas berarti melupakan, dan melupakan adalah penderitaan.
***
Aku menaikkan kerah jaketku, dinginnya malam menaikkan bulu kudukku. Tak ada yang mengejarku, namun aku berjalan cepat-cepat, seakan sedang berpacu dengan bayanganku pada trotoar. Aku memang selalu berjalan cepat-cepat, entah itu sedang terburu-buru, atau malah sedang santai. Teman seperjalananku selalu bilang aku ini berjalan seperti laki-laki; cepat, bersemangat, dan serampangan. Aku tidak pernah ambil pusing, karena sebenarnya ketika berjalan aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku hanya menikmati rasanya berjalan, selebihnya aku tidak begitu perduli, toh aku bisa menikmati yang lain-lain itu besok; mereka tidak pernah kemana-mana.
Berjalan kaki cepat-cepat, bagiku, hanyalah cara untuk bersembunyi ke dalam diriku tanpa harus terlihat aneh. Ketika berjalan cepat-cepat, orang-orang tidak akan berani menegur atau mencoba menghentikan langkahku untuk hal-hal remeh, simply karena mereka mengira bahwa aku punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Kalaupun ternyata mereka cukup bodoh dan tetap menegur, aku masih bisa berpura-pura tidak mendengar tanpa terlihat kasar atau kurang ajar. Dan begitulah, aku selalu mengasingkan diri dengan berjalan cepat-cepat. Aku merasa waktu seakan berhenti berputar ketika aku mulai berjalan, semua orang seperti menghilang dan aku menjadi satu-satunya suara yang bisa berbahasa. Aku merasakan duniaku berputar, dalam gerakanku sendiri, lepas dari gravitasi. Aku menjadi diriku sendiri dengan merdeka.
Malam ini, seperti biasa, aku berjalan kaki pulang melewati jalan di depan rumah itu. Rumah yang berpagar besi dan dicat hijau itu. Halamannya rimbun sekali, terlalu rimbun malah, sehingga membuatnya terlihat seperti hutan. Sebenarnya aku tidak pernah tertarik dengan wajahnya yang suram, tapi hari ini suara piano dari dalam rumah itu berhasil menghentikan langkahku, Dia seperti hantu yang merayap diantara desau dedaun dan merasuki telingaku. Aku tersedot keluar dari pusaranku, dan tertarik masuk kedalam medan gravitasinya. Aku mematung di depan gerbangnya, gerbang besi berwarna hijau dengan kolom yang dicat putih itu. Di salah satu kolomnya tertera angka 6 yang ditulis dengan cat hitam; serampangan, namun jelas, membuat rumah itu seperti berkata, “Hai, namaku rumah nomor 6.”
Betapa anehnya sebuah pertemuan. Dalam seketika dia membawaku jauh dari apa yang ku yakini selama ini, jauh dari cita-cita untuk pulang, jauh dari keinginan untuk segera sampai ditujuanku yang sebenarnya. Dari ribuan langkah bisu yang kuhitung dengan tekun, akhirnya aku berhenti pada sebuah pertemuan, sebuah awalan. Tak pernah direncanakan, dan tak terhindarkan. Di titik ini kita pernah berhenti dan bertemu, mungkin begitulah aku akan mengenangmu kelak.
Aku memperhatikan dua buah jendela besar yang ada dibagian depan rumah, hanya itulah bagian rumah yang tak tertutup rimbunnya tumbuh-tumbuhan di halaman depan. Gelap sekali, seperti halnya bagian lain dari rumah ini. Aku bersandar pada pagarnya dan menikmati lantunan Moonlight Sonata yang masih terus mengalun lirih. Lagu ini, hampir seperti tangisan walau tetap terdengar indah. Lamat-lamat aku merasakannya mengalir perlahan, masuk hingga jauh kedalam hatiku, begitu tenang, begitu sedih, namun begitu indah; hampir seperti fantasi.
Moonlight Sonata atau Piano Sonata no.14 digubah oleh Beethoven untuk Countess Giulietta Guicciardi, seorang murid sekaligus gadis yang dicintainya. Status sosial dan usia yang terpaut jauh membuat keduanya tidak mungkin untuk bersama. ‘Quasi Una Fantasia’ atau ‘Hampir Seperti Fantasi’, begitulah dia menamai simfoni tiga bagian ini. Beberapa menulis bahwa nama ini diambilnya menjadi judul karena simfoni ini merupakan free form symphony, berbeda dengan aturan baku sebuah simfoni masa itu. Namun mengingat simfoni ini didedikasikan untuk kekasihnya, maka banyak juga yang berpendapat bahwa judul tersebut juga mewakili perasaannya pada sang perempuan. Mungkin karena cintanya yang begitu besar, mungkin karena jauhnya jurang yang memisahkan mereka, atau mungkin karena kedua alasan tersebut, entahlah, tapi piano simfoni ini memang tak biasa. Seorang kritikus musik bahkan menyetarakannya dengan puisi yang tak teraih bahasa manusia.
Aku masih mematung di depan rumah nomor enam ini. Keinginan untuk masuk dan mendengar lebih dekat begitu besar, namun aku tak berani keluar dari daerah amanku. Lagipula ini sudah sangat larut, kurang ajar sekali kalau seorang gadis sepertiku sampai berani bertamu jam segini. Dari dalam aku mendengar simfoni memasuki bagian akhir Presto Agitato, seperti dua buah petir saling menyambar, simfoni ini menggemuruh hingga meruntuhkan tembok harga diriku. “Ah, if I perish, I perish,” doaku singkat.
Aku melihat sekitarku, tak satupun orang yang lewat. Jam segini, jalanan ini memang sudah sepi. Aku melihat sekitarku untuk yang kedua kali, mencoba meyakinkan diri bahwa tidak ada yang melihatku masuk. Dan detik berikutnya aku melakukan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Aku masuk kerumah itu.
Aku tak menemukan bel dan aku tak berani mengetuk, tapi aku melihat pagarnya tak berkunci, jadi aku langsung membukanya. Suara berdecit yang nyaring langsung menyeruak ketika aku menggeser daun pintunya. Aku mematung beberapa saat, terkejut dengan suara yang tak kuduga itu. “Dammit,” umpatku.
Suara piano tiba-tiba berhenti, mungkin sadar akan kehadiranku. Aku melihat lampu ruang depannya tiba-tiba menyala dan terdengar suara menghardik dari dalam, “Siapa disitu!” Secepat kilat aku meninggalkan rumah itu lalu bersembunyi dibalik kolom pagar tetangga sebelahnya. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu sang pemilik rumah datang dan memeriksa keluar.
Dan benar saja, bunyi besi berdecit kembali terdengar jelas ketika pemilik rumah nomor enam itu membuka pagarnya. Seorang pria berusia pertengahan 40an terlihat bingung ketika mendapati tidak ada seorangpun di depan pagarnya. “Siapa disitu,” hardiknya kembali. Gelap sekali malam itu, tapi sosoknya yang besar dengan rambut panjangnya yang berantakan begitu jelas tertangkap mataku. Ia menyapu sekitarnya suara nafasnya yang berat, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan suara yang tadi didengarnya.
“Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Kakiku mulai terasa nyeri akibat berjongkok dengan posisi lutut yang salah. Aku ingin meluruskan badanku, namun aku takut aku akan menimbulkan suara yang akan menuntunnya padaku. Dia kembali menghardik, “Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Malam menjadi terlalu hening bagiku. Bahkan bernafaspun aku tak berani, takut dia akan mendengarku. Aku merasa seperti ada ribuan semut yang menggerogoti kakiku, begitu geli dalam arti yang menyakitkan. Tapi aku tetap diam, mencoba menjadi sehening batu.
“Dasar orang gila,” umpatnya lalu masuk kembali, mengunci pagarnya, lalu mematikan lampu ruang depannya. Aku masih tak berani keluar, sebagian karena aku masih begitu kaget dan sebagian lagi karena aku terbawa suasana dan benar-benar menjadi sehening batu. Aku menunggu beberapa saat sampai ada tanda bahwa keadaan aman. Lalu aku keluar dari persembunyianku.
Darahku serasa berhenti sesaat akibat pertemuan yang ganjil itu. Entah apa yang kufikirkan sampai aku nekat melakukan kegilaan seperti ini. Aku menarik nafas panjang, dan udara panas yang kubuang menciptakan kepulan asap yang aneh dari lubang hidungku. Kakiku mati rasa akibat berjongkok terlalu lama, namun itu tak seberapa dibanding jantungku yang berdegup tak beraturan, menciptakan sakit kepala yang hebat. Ah, pertemuan memang aneh, untuk beberapa saat aku merasa menjadi orang yang berbeda, orang yang tak pernah kukenal selama ini. Sebuah pertemuan telah membawaku jauh dari apa yang kuyakini selama ini, jauh dari tujuan awalku untuk pulang, jauh dari diriku dan hidupku yang biasanya menjemukan.
God forbids, aku ingin bertemu dengannya lagi!
***
Aku mengusap mataku yang terasa perih. Semalaman aku tak bisa tidur. Pertemuan dengan pemilik rumah nomor enam itu membuatku merasakan sesuatu yang beda, sesuatu yang mencegahku tidur atau mengerjakan yang lainnnya. Alam bawah sadarku seakan tak rela membiarkanku melupakannya.
Aku melirik jam meja disebelah tempat tidurku, baru pukul setengah lima pagi. Terlalu pagi untuk bangun, namun terlalu terlambat untuk tidur. “Argh,” teriakku gusar, entah kepada siapa. Lalu aku bangkit untuk bersiap-siap.
Pukul enam limabelas, begitulah yang terbaca pada jam dindingku sesaat sebelum aku meninggalkan rumah. Pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Aku ingin melihat wajah sipemilik rumah nomor enam dengan lebih jelas. Aku berharap dia sudah bangun dan sedang beraktifitas di sekitar perkarangannya. Dari permainan pianonya semalam aku yakin kalau dia seorang musisi, atau mungkin seorang guru piano. Aku berharap dia bukan pekerja kantoran yang selalu sibuk dipagi hari. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi. Atau kalau ada kesempatan baik, aku ingin sekali berkenalan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Aku sengaja berjalan lebih pelan pagi ini. Dan begitu sampai di depan rumah nomor enam itu aku berhenti dan menunggu keberanian menghampiriku sekali lagi. Aku mematung cukup lama sampai tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari samping. Seorang bapak dengan anjing Spaniel coklatnya ternyata sudah dari tadi berdiri disampingku.
“Cari siapa, dik,” tanyanya.
“Oh, maaf pak, sebenarnya saya…. Uhm, anu, itu, maksud saya, saya juga bingung ngejelasinnya pak, hehe,” aku tertawa aneh untuk menutupi keterkejutanku.
“Adik saudaranya Pak Bejo, ya?”
“Pak Bejo? Maksudnya?”
“Iya, yang punya rumah ini.”
“Oh, bukan pak. Saya bukan siapa-siapanya beliau.”
“Ada perlu sama Pak Bejo mungkin?”
“Oh, engga pak, saya tadi anu, ini uang, eh, pin bross saya tadi jatuh dekat-dekat sini. Jadi saya cari-cariin. Udah masuk parit mungkin ya. Aduh, padahal saya sayang banget sama bross itu.” Aku menatap matanya mencoba meyakinkannya dengan penjelasan yang aneh tadi.
“Wah, sayang banget ya,” katanya penuh ketulusan. “Nanti kalau saya ketemu saya simpenin deh. Semoga ga bener-bener ilang ya,” lanjutnya.
“Wah, makasih ya pak. Saya permisi dulu,” pungkasku.
Aku berlalu dengan cepat dari hadapannya. Seketika itu juga aku merasakan kembali ketegangan yang sama, yang menyiksaku semalam. Sambil berjalan aku menoleh sekali kearah bapak dengan anjing Spaniel coklatnya tadi, mereka masih berdiri di sana, menatapku dengan penuh tanya. Aku berjalan lebih cepat, mengejar belokan yang tinggal beberapa meter di depanku. Aku tak tahan diperhatikan dari belakang seperti ini. Rasanya seperti ribuan belati menancap pada punggungku.
“Sial, kenapa begitu sulit sih bertemu dia lagi,” umpatku pelan.
Aku memacu langkahku menuju belokan yang tinggal lima meter lagi dihadapanku. Setelah belokan ini aku bisa menjadi diriku kembali, bukan orang aneh yang baru saja kulakoni beberapa menit dibelakang. Sebelum berbelok, aku menoleh kebelakang untuk terakhir kalinya. Si bapak dan anjingnya sudah tidak ada. Aku bernafas lega karena kini aku benar-benar bisa menjadi diriku kembali.
Ternyata namanya Bejo, aku membatin. “Tidak terlalu buruk,” gumamku pelan. Aku tersenyum, entah mengapa. Rasanya begitu aneh, seperti ada kupu-kupu di dalam perutku; senang namun juga gelisah. Ah, setidaknya kini aku selangkah lebih dekat dengan mengetahui namanya. Aku tersenyum kembali, merasa puas dengan apa yang berhasil kulakukan hari ini. Seorang nenek yang berpapasan denganku terlihat takut melihatku tersenyum sendiri. Ah, aku tak perduli. Aku tidak pernah ambil pusing dengan apa yang ada disekitarku ketika aku berjalan. Sebentar lagi mereka semua akan menghilang. Sebentar lagi hanya akan ada aku dan duniaku.
Kita selalu bertemu dengan tiba-tiba, begitu cepat sehingga kita tak bisa menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.
Pertemuan bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Dia tidak membiarkan kita memilih karena dia tahu, kita tidak akan mampu membuat pilihan untuk memulai. Kita hanya manusia yang tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Memulai mungkin terlalu berat sehingga bagian kita hanya menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Dan mungkin, begitulah cara Tuhan mengasihani kita.
***
“Air putih, khan,” katanya sambil tersenyum ketika aku mulai duduk di sofa hijau mbladus disudut ruang kerjanya. Sebenarnya ruang kerja disini bukan dalam artian yang sesungguhnya, hanya sebuah garasi tak terpakai yang disulap menjadi kamar dengan sebuah meja kerja, dua sofa butut, dan sebuah piano tua pada sudutnya. Tapi sepertinya untuk seorang tukang kebun, ruang kerja ini lebih dari cukup.
“Tau aja, pak,” kataku sambil menatap punggungnya.
“Mau nyari Pak Bejo lagi ya,” di sodorkannya aku segelas besar air putih dingin.
“Ada ngga, Pak?”
“Wah, baru setengah jam yang lalu dia berangkat. Katanya sih ada latihan untuk konser bulan depan.” Dia menyodorkan sebuah brosur tentang konser yang baru saja disebutkannya tadi. “Tertarik?” Ditatapnya aku tajam dari balik kacamatanya.
“Wah, kayanya sih menarik. Aduh, tapi mahal sekali tiketnya,” aku hampir tersedak ketika membaca harga tiket yang tertera di brosur itu.
“Ya, menabung aja dulu. Masih sebulan ini,” dia tersenyum melihat ekspresi kagetku.
“Ya, tetap saja masih terlalu mahal bagi saya, Pak. Emang bakal ada yang nonton gitu, khan mahal sekali ini.” Aku membolak-balik brosur kecil tadi, berharap menemukan tulisan yang mencantumkan harga tiket yang lebih terjangkau.
“Tak ada yang terlalu mahal untuk sebuah seni,” dia mengulum senyum penuh arti.
“Ah, ngomong sih enak, Pak. Nyari duitnya tetep aja setengah mampus,” aku menertawakan diriku sendiri. “Eh, si Arnaud kemana Pak?” Aku mencari-cari anjing Spaniel coklat yang biasa dibawa-bawanya itu.
“Sayang sekali ya, kamu udah beberapa kali kesini, tapi tak bisa bertemu Pak Bejo. Ngga jodoh kayaknya kamu sama dia.” Dia terkekeh pelan mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa menggubris pertanyaanku. “Kenapa sih kamu tertarik sekali bertemu dengan dia? Kamu kan ga kenal dia sebelumnya,” dia menyilangkan kakinya dan menyandarkan kedua tangannya pada bahu sofa tempat dia duduk.
“Udah ah Pak, cukup sekali saya nyeritainnya, saya malu kalo harus ngomong itu lagi. Saya merasa bodoh banget kalo inget kejadian malam itu,” aku ingin tertawa sebenarnya, tapi entah mengapa, menertawakan diri sendiri memang selalu menyakitkan.
“Ya engga apa-apa, cuma buat lucu-lucuan aja,” dia tertawa kecil melihat wajahku yang memerah tiba-tiba. “Tapi untung dia yang buka pintu, ya. Kalau saya, saya ga pake ribut-ribut langsung saya pukul pake pentungan.” Dia terbahak tertahan, mungkin sedang membayangkan bagaimana rupaku jika terkena pentungannya. “Oh iya, pin bross kamu itu ga ada lho. Padahal sudah saya cariin kemana-mana.” Dia terbahak lebih keras. Aku merasa bodoh sekali mengingat kejadian pagi itu, ketika aku harus berbohong waktu dia memergokiku mematung di depan rumah ini.
“Bapak udah berapa lama sih kerja sama Pak Bejo,” tanyaku untuk menyudahi ejekannya.
“Wah, sudah lama sekali. Dari Pak Bejo belum apa-apa, sampai dia seperti sekarang ini.”
Komentar
Posting Komentar